Beberapa hari lalu, lewat akun Instagram-nya @sandiuno, Menparekraf mengunggah potongan berita online yang berjudul “Moto GP Mandalika Bawa Berkah untuk Bali, 500 Hotel Ludes Dipesan”. Sebelumnya dipertengahan bulan Januari lalu, http://www.liputan6.com mengabarkan bahwa 2.000 kamar hotel di kawasan Senggigi sudah dipesan wisatawan yang akan menonton MotoGP. Meski ajang ini baru dihelat tanggal 18-20 Maret nanti, namun industri wisata di propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat sudah mulai menggeliat. Kabar ini tentunya memberikan angin segar bagi para pelaku pariwisata untuk kembali bangkit dan meraup untung. Terlebih dalam dua tahun terakhir, industri ini merupakan sektor yang paling terpukul akibat Covid-19.
Jika kita berhitung berdasarkan info di atas, kalau saja rata-rata harga kamar di Senggigi Rp 1 juta per malam, dan lama wisatawan menginap selama satu minggu, maka dari ini saja sudah diperoleh pemasukan sebesar Rp 14 milyar. Lalu dari bisnis rental mobil juga tak berbeda jauh. Jika sewa mobil rata-rata per hari Rp 800.000, selama seminggu sektor ini sudah menerima pemasukan Rp 11,2 miliar. Bisnis beverages-pun juga bisa beroleh untung yang lumayan. Asumsi biaya makan dan minum per hari Rp 150.000, untuk melayani 4.000 wisatawan (satu kamar diisi oleh dua orang) yang menginap selama satu minggu, maka sektor ini akan menerima sekitar Rp 4,2 miliar. Belum lagi dari penjualan oleh-oleh, penyewaan speedboat, jasa spa, dan pemandu wisata. Jika perhitungan di atas tak meleset, maka dari ajang MotoGP bulan depan, Senggigi bisa beroleh pendapatan sekitar Rp 30 miliar. Ini baru dari Senggigi saja, belum Gili-Gili di lepas pantai, kota Mataram, kawasan Kuta-Mandalika, serta Bali di seberang selat.
Sebagai catatan, pada tahun 2019 lalu MotoGP Sepang, Malaysia bisa mendatangkan sekitar 170.000 penonton (Lihat tabel di bawah). Dan sekitar 20%-nya adalah orang Indonesia. Itulah mengapa pemerintah tak mau menyia-nyiakan peluang tersebut. Daripada uang orang-orang tajir itu mengalir ke Malaysia, kenapa kita tak menyelenggarakannya di negeri sendiri. Terlebih kita sudah berpengalaman di tahun 1996 dan 1997. Sebagai langkah konkret, maka di tahun 2020 lalu pemerintah memutuskan untuk membangun sirkuit Mandalika di Lombok, NTB. Menelan biaya sekitar Rp 1,2 triliun, sirkuit rancangan perusahaan arsitektur asal Amerika : Popuolus itu selesai dalam 14 bulan. Selain membangun sirkuit, untuk beroleh izin penyelenggaraan Indonesia juga harus membayar fee sebesar 9 juta Euro (sekitar Rp 142,7 miliar) setiap musimnya. Pembayaran itu diberikan kepada Dorna Sports, selaku promotor yang memegang lisensi MotoGP.
MotoGP Mem-Branding Indonesia
Dengan biaya sebesar itu, lantas apa untungnya buat Indonesia? Seperti halnya pembangunan kereta cepat, jalan tol Trans-Jawa dan Trans Sumatera, penyelenggaraan MotoGP juga bisa memberikan imej yang baik bagi Indonesia. Jika selama ini investor hanya mengetahui Singapura dan Malaysia sebagai tempat investasi yang menjanjikan, maka dengan viralnya berita MotoGP di Mandalika, para pengusaha akan mempertimbangkan Indonesia sebagai hub bisnis mereka di ASEAN. Dampaknya tentu baru terasa 5-10 tahun ke depan. Dimana ketika itu kita sedang dalam fase bonus demografi. Oleh karenanya, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia meneken kontrak penyelenggaraan MotoGP selama 10 tahun ke depan. Agar terjadi kesinambungan.
Selain menggelar MotoGP yang terdiri dari tiga kelas, Mandalika juga akan menjadi penyelenggara World Superbike dan Asia Talent Cup. Seperti even olahraga lainnya – Piala Dunia atau Olimpiade, tiga kompetisi tersebut tentu akan mendatangkan jutaan pasang mata. Puluhan stasiun televisi dari seluruh dunia pasti akan berebut meliput helat tersebut. Belum lagi para youtuber serta pegiat media sosial. Pada tahun 2015 lalu, siaran MotoGP ditonton oleh sekitar 291 juta orang di 207 negara. Ini tentu bisa memperkenalkan sekaligus mem-branding Indonesia sebagai negara yang telah maju. Disamping itu, posisi sirkuit Mandalika yang ditepi laut, juga akan memperlihatkan keelokan alam Indonesia. Kalau begini, apa gak bikin turis jadi tertarik untuk datang kesini.
Kalau ada orang yang ribut-ribut bahwa penyelenggaraan MotoGP cuma buang-buang uang, coba deh kalkulasi lagi. Yang sudah di depan mata saja, pemerintah akan beroleh pendapatan cukup besar dari tiket penonton. Lalu dari sponsor, penjualan merchandise, dan juga pajak. Sektor swasta yang notabene UMKM juga akan kecipratan untung dari penyewaaan hotel, rental mobil, restoran, dan kafe. Jika masyarakat sekitar cukup kreatif, mereka juga bisa menjual paket-paket wisata yang bisa ditawarkan kepada 150.000 pengunjung. Belum lagi industri kreatif pembuatan kaos atau suvenir khas MotoGP. Itu semua bisa jadi cuan dan menjadi penggerak ekonomi NTB.
* * *
Untuk memperkenalkan Indonesia di panggung internasional, menurut saya sudah tepat pemerintah menggelar MotoGP. Selain biayanya yang gak terlalu mahal – dibanding Formula One atau Formula E, peminat MotoGP juga terbilang cukup besar. Mungkin penontonnya masih di bawah Piala Dunia, namun jauh di atas Formula One. Nah, karena Indonesia akan menyelenggarakan gelaran ini hingga tahun 2032 nanti, maka sudah seharusnya-lah pemerintah menambah lagi jumlah hotel berbintang di Lombok. Tak ketinggalan resto-resto dan kafe yang menyediakan fine dining. Kalau pemerintah mau menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi utama, maka sudah tak bisa lagi bergantung kepada Bali. Oleh karenanya pemerintah harus mendorong para pelaku usaha agar mau mengembangkan pariwisata di Lombok. Beri mereka kemudahan, kalau perlu dengan insentif tertentu. Dengan akomodasi yang lengkap, maka diharapkan Lombok akan menjadi tujuan utama — bukan sekedar tempat persinggahan.
Kalau dilihat dari kontur alamnya, pulau ini memiliki potensi yang tak kalah bagus dibanding Bali. Lombok punya banyak pantai, Gili Trawangan dan Gili Melo, Taman Nasional Gunung Rinjani, serta Danau Segara Anak. Meski obyek wisatanya beraneka ragam, namun jumlah wisatawan yang datang kesana masihlah sedikit. Kurang dari sepersepuluh pengunjung Pulau Dewata. Selain sarananya yang masih minim, yang tak kalah pentingnya adalah budaya sadar wisata. Tak seperti Bali dimana seluruh stakeholder-nya sudah menganut budaya sadar wisata, di Lombok nampaknya belum. Untuk itu maka perlu uluran tangan pemerintah agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat, supaya tercipta kultur tourism. Jangan sampai ajang ini lewat begitu saja, tanpa memberikan manfaat keberlanjutan kepada masyarakat NTB.