November tahun lalu, otoritas bursa China menjatuhkan sanksi denda kepada tiga perusahaan financial techonology : Alibaba, Baidu, serta JD.com, masing-masing sebesar RMB 500.000 atau setara USD 78.000. Sanksi tersebut muncul akibat perusahaan-perusahaan ini tak melaporkan aksi korporasinya sejak tahun 2012 lalu. Ini merupakan lanjutan dari kegeraman pemerintah Tiongkok terhadap perusahaan-perusahaan digital disana yang dianggapnya semakin hari semakin memonopoli. Salah satu aksi korporasi yang tak dilaporkan itu adalah akuisisi yang dilakukan oleh Baidu pada tahun 2012 dan 2021. Dalam aksi korporasi tersebut terungkap bahwa Baidu beserta perusahaan otomotif Zhejiang Geely Holdings telah membentuk perusahaan baru yang memproduksi kendaraan dengan energi terbarukan. Aksi korporasi lainnya dilakukan oleh Alibaba pada tahun 2014 lalu, ketika perusahaan yang berbasis di Hangzhou itu mengakuisisi perusahaan digital mapping dan navigasi : AutoNavi. Selain itu, di tahun 2018 Alibaba juga membeli 44% saham Ele.me dan menjadi pemegang saham terbesar di perusahaan layanan pengantar makanan tersebut.
Sebelum pengenaan sanksi, di awal tahun lalu, pendiri Alibaba : Jack Ma hilang secara misterius. Banyak media yang bilang, Ma diusir dari China karena terlalu keras mengkritik pemerintah. Memang beberapa kali dia menyudutkan pemerintah dengan kata-kata yang pedas. Salah satu kritiknya adalah mengenai regulasi perbankan di China yang menurutnya sudah usang. Ma berpendapat, regulasi saat ini akan menghambat inovasi di China, karena bank-bank hanya berani meminjamkan dana kepada perusahaan yang memiliki tangible asset. Padahal perusahaan-perusahaan seperti Alibaba dan Tencent, cuma punya human capital yang menjadi modal usahanya. Gara-gara kritik tersebut, pemerintah China-pun naik pitam. Otoritas langsung melakukan investigasi terhadap perusahaan induk Alibaba : Ant Group, dan melarangnya melantai di Bursa Hongkong dan Shanghai dua hari sebelum tanggal pencatatan.
China Menolak Kapitalisme Barat?
Melihat aksi yang dilakukan pemerintah China belakangan ini, tentu banyak pihak yang bertanya-tanya. Benarkah China tak sepenuhnya ingin menganut sistem kapitalis ala Barat. Apakah China sudah berubah haluan? Mengingat sejak era keterbukaan yang dipelopori oleh Deng Xiaoping, China telah mengadopsi pendekatan laissez faire dalam pengembangan ekonominya. Karena azas “biarkan apa adanya” itulah ekonomi China tumbuh berlipat-lipat. Kalau kita melihat data ekonomi China, pada tahun 1983 pendapatan per kapita masyarakat negeri tirai bambu itu hanya sebesar USD 299. Angka ini kurang dari separuh pendapatan masyarakat Indonesia kala itu yang sudah mencapai USD 661. Namun di tahun 2021 lalu, mereka telah beroleh pendapatan sekitar USD 12.554, atau naik 41 kali lipat dalam waktu kurang dari empat dekade. Menurut Bloomberg, bahkan saat ini ada sekitar 3,5 juta orang di China yang memiliki kekayaan di atas USD 1 juta.
Meningkatnya pendapatan masyarakat Tiongkok, tentu dipicu oleh banyaknya modal asing yang masuk ke negeri ini. Berdasarkan data yang dihimpun http://www.ctgn.com, sejak tahun 1983 hingga tahun 2017 lalu, investasi langsung ke China telah meningkat sebesar 60 kali lipat menjadi USD 136,3 miliar. Jumlah ini setara dengan 9,5% dari total penempatan foreign direct investment di seluruh dunia. Dari modal inilah kemudian banyak korporasi-korporasi besar yang memindahkan pabriknya kesini, dan menjadikan China sebagai “the factory of the world”.
Dibalik pertumbuhannya yang luar biasa itu, ternyata China menjadi negara pengkonsumsi sumber daya alam (SDA) terbesar di dunia. Bahkan konsumsinya terhadap SDA, out of proportion jika dibandingkan dengan besaran ekonomi atau jumlah populasinya. Pada tahun 2015, besaran ekonomi Tiongkok hanyalah 14% dari total PDB global. Tetapi negeri ini mengonsumsi sekitar 17% biomasa, 29% bahan bakar fosil, serta 44% logam dasar. Selain itu, negeri ini juga menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, yaitu 28% dari emisi global, atau dua kali emisi Amerika, tiga kali Uni Eropa, dan empat kali India. Dari tahun 1978 hingga 2016, emisi CO² Tiongkok meningkat dari 1,5 miliar ton menjadi 10 miliar ton, dan dari 1,8 ton menjadi 7,2 ton per kapita dibandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya 4,2 ton. Karena pertumbuhan ekonominya yang resource intensive itulah, China sering menjadi sorotan para aktivis lingkungan. Mereka mengkritik kebijakan ekonomi China yang ugal-ugalan, yang mengenyampingkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Tetapi apakah karena itu lantas China meninggalkan sistem ekonomi “kapitalis” yang mereka anut selama ini? Bukan. Bukan itu sodara-sodara! Pemerintah Tiongkok tak semulia itu, yang mau menghentikan pertumbuhan ekonominya demi menjaga kelestarian lingkungan. Ternyata yang melatarbelakangi itu semua adalah ketakutan pemerintah China yang sewaktu-waktu bisa didikte oleh perusahaan-perusahaan teknologi tersebut. Pemerintah China khawatir, ketika mereka sudah (terlanjur) besar akan ada risiko penyalahgunaan kekuatan pasar untuk melumpuhkan persaingan, penyalahgunaan data dan pelanggaran hak-hak konsumen. Saat ini saja, Alibaba serta Tencent mengontrol lebih banyak data pribadi dan terlibat lebih dekat dalam kehidupan sehari-hari di China daripada Google, Facebook, dan raksasa teknologi lainnya di Amerika Serikat. Mereka juga beberapa kali kedapatan mem-bully perusahaan-perusahaan kecil agar tunduk pada aturan main yang mereka buat. Singkatnya, pemerintah China hendak mencegah terjadinya praktek monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang bisa berpotensi merugikan hajat hidup orang banyak.
Meskipun pemerintahan Xi Jinping telah mengungkapkan alasan-alasannya, namun masih banyak pihak yang skeptis. Salah satunya tentu adalah investor yang sudah banyak membenamkan modalnya di China. Primavera Capital Group, perusahaan investasi yang berbasis di Hongkong sekaligus pemegang saham Ant Group, mulai mengkhawatirkan arah kebijakan ekonomi Xi. Dia takut sewaktu-waktu pemerintah komunis akan bertindak represif, dan menyita aset-aset milik swasta. Tak ketinggalan para investor ritel di Bursa New York yang telah melepas sebagian besar portofolionya pada emiten-emiten asal China. Akibat dump besar-besaran itu, kapitalisasi pasar Alibaba (BABA), Tencent (TCEHY), dan Baidu (BIDU) mengalami penurunan masing-masing sekitar 55%, 39%, dan 46% dibandingkan satu tahun sebelumnya.
Melihat langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah China tersebut, ekonom dari Sekolah Bisnis University of Hongkong, Zhiwu Chen, mengungkapkan : bisa sajanya nantinya Ant Group akan menjadi perusahaan BUMN atau setidaknya saham mayoritasnya dipegang oleh pemerintah. Dengan mengontrol perusahaan-perusahaan teknologi yang berbasis pada kecerdasan buatan, tentu semakin mudah bagi pemerintah Tiongkok untuk mengawasi gerak gerik masyarakatnya. Kalau ini benar terjadi, maka kebijakan anti monopoli yang selama ini didengung-dengungkan hanyalah lip service belaka. Mereka sebenarnya hanya ingin menguasai entitas-entitas yang berpotensi menjadi pesaing Partai Komunis China (PKC), dan memanfaatkannya untuk kepentingan politik.
Meski begitu, agak terlalu dini jika kita menyimpulkan bahwa China akan kembali lagi ke sistem ekonomi ala komunis. Terlebih sejak 1 Januari 2020 lalu, pemerintah China telah memberlakukan Foreign Investment Law yang baru, yang memberikan kesempatan lebih besar kepada investor luar untuk membenamkan dananya disana. Mungkin apa yang dilakukan oleh pemerintah China belakangan ini, hanyalah penegakkan regulasi yang berpotensi merugikan kekuasaan PKC. Seperti halnya Soeharto dulu yang memaksa kebijakan politik-ekonomi khas Indonesia, yang disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila. Pada akhirnya : China adalah China. Sebuah negara komunis yang berbeda dengan Amerika Serikat, Eropa Barat, ataupun Jepang.