Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto (2)

Posted: 26 Maret 2018 in Buku
Tag:, , , , ,

Liem dan Soeharto

Setelah membaca awal perkenalan Liem dengan Soeharto, selanjutnya pada fase kedua tulisan ini kita akan melihat tahap-tahap perjalanan Liem dalam membangun imperium bisnisnya. Pada fase akhir tulisan ini, saya juga akan mencuplik merosotnya dominasi Salim pasca kejatuhan Soeharto, serta kehidupan senja sang taipan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melihat suatu kejadian yang ditulis pada Bab 7. Dalam sub-bab yang berjudul “Kejadian yang Mengerikan di Rumah”, diceritakan tentang tragedi yang terjadi di rumah Liem pada bulan Juni 1966. Ketika itu Liem sedang pergi ke Singapura, menjadi anggota delegasi tak resmi Soeharto yang ingin mengakhiri politik konfrontasi yang ditempuh pendahulunya. Liem menuturkan kejadian tersebut: “Suatu sore sekitar pukul 16.30, seorang laki-laki berseragam marinir datang ke rumah mencari saya. Istri saya menyangka dia datang untuk minta uang, dan mempersilahkannya masuk. Tante (istri Liem) memberi tahu kalau saya sedang di Singapura. Lalu Tante masuk ke kamar untuk mengambil uang dan orang itu mengikutinya. Tetapi langkah orang itu terhalang oleh engsel pintu kasa yang rusak. Tante mendengar suara pintu dan membalikkan badan, dia tertegun melihat laki-laki itu memegang senjata api. Tante berteriak : “Jangan Pak!” Orang itu menembak dua kali, satu tembakan kena lengan Tante, satunya lagi kena perut. Tampaknya peluru itu meleset mengenai jantung dan menembus punggungnya. Benar-benar suatu kemujuran, kalau tidak Tante pasti sudah meninggal. Seandainya saya di rumah, saya pasti sudah dibunuh.” Ini untuk kedua kalinya Liem selamat dari maut, setelah sebelumnya di tahun 1949 ia juga selamat dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan dua penumpang yang semobil dengannya.

Pada bab ini kita juga bisa menengok sosok Anthony Salim, putra ketiga Liem, yang menyelesaikan pendidikan tingginya di Inggris. Dengan bekalnya itu, Anthony banyak memberikan ide-ide bisnis yang tak terpikirkan oleh ayahnya. Liem pernah mengatakan, bahwa anak laki-laki termudanya itu bijaksana melebihi umurnya. Dan Anthony menunjukkan kualitas itu dengan tidak berusaha tampil lebih bersinar dari ayahnya atau merebut sesuatu darinya. Bahkan setelah bertahun-tahun duduk di balik kemudi, Anthony terus menyampaikan laporan singkat kepada ayahnya tentang semua aspek rencana-rencana bisnis. Seperti ayahnya, Anthony paham cara kerja sistem patronase licik Orde Baru. Dan ia sadar betul bahwa patronase politik yang dinikmati ayahnya terbatas masa hidupnya. Sejak akhir 1970-an, dia sudah meyakinkan ayahnya tentang pentingnya berinvestasi di luar negeri dan mendorong Salim Group untuk mengeksplorasi peluang di luar Indonesia. Seiring tahun berlalu, Anthony membuat banyak kesalahan, sebagaimana yang terus terang diakuinya. Dia memberi satu contoh, kesalahan besar bisnis pertamanya adalah ketika mengimpor semen dari Korea Utara.

Dalam Bab 9 diterangkan bagaimana Liem memulai usaha pabrik semen. Hal ini bermula dari keinginan Soeharto yang tak ingin bergantung dari produsen asing. Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato tanpa teks di Tapos, Bogor, sang presiden mengklarifikasi dugaan-dugaan yang berkembang di masyarakat dimana ia berkolusi dengan Liem dalam bisnis semen. Dia mengeluhkan bahwa suatu saat seorang investor Amerika berjanji ingin membangun dua pabrik, asalkan Soeharto tidak memberikan ijin bagi pabrik semen lain. Seandainya rencana itu diikuti, Indonesia harus mengandalkan impor dari pabrik Amerika Serikat dan “kita tidak akan pernah merdeka di bidang semen”, ungkap Soeharto. “Lalu saya memanggil Liem dan bertanya, ‘Kamu sanggup membangun pabrik semen’? dan dia menjawab, ‘Ya, saya sanggup’.

Investor Amerika itu pastilah Kaiser Cement & Gypsum, yang mulai membangun pabrik pada tahun 1971. Pada akhir 1980-an Kaiser menjual usaha patungannya, Semen Cibinong, dan pemegang saham utamanya adalah Hashim Djojohadikusumo. Semasa Soeharto, Kaiser Cement adalah investor swasta pertama di bidang semen, lalu di tahun 1973 Liem masuk dengan PT Distinct Indonesia Cement Enterprise. Pada tahun 1985, bisnis semen yang ia kendalikan membutuhkan suntikan modal. Soeharto yang dapat membuat peraturan apa saja sesuai kehendaknya, memberikan talangan dengan menyuntikkan modal sebesar Rp 364,33 miliar ke PT Indocement Tunggal Prakasa. Inilah perusahaan baru yang mengonsolidasikan pabrik-pabrik semen milik Liem. Para pengkritik menyayangkan talangan itu akan menjadi preseden, dimana pemerintah membantu bisnis swasta menggarap “komoditas vital”. Benar saja, skema peraturan seperti ini terulang kembali, ketika cengkeh dinyatakan sebagai komoditas vital yang menguntungkan Tommy Soeharto.

Dalam berbisnis, Liem tak takut mengambil risiko dan menjelajahi wilayah yang dia tidak tahu banyak. Modus operandinya adalah menemukan mitra yang tepat yang bisa menjalankan usaha baru untuknya. Bakat Liem adalah memastikan mana orang yang cakap dan berpengalaman yang bisa membantu mengembangkan kelompok bisnisnya. Mochtar Riady membawa perubahan dalam perbankan selama hampir 15 tahun. Robert Kuok sangat penting dalam pembangunan pabrik tepung, sementara di bidang semen Liem mendapat bantuan dari seorang mitra Taiwan yang diperkenalkan Chin Sophonpanich pemilik Bangkok Bank. Bidang lain dimana Liem membangun persahabatan yang indah adalah properti, dimana dia bergabung dengan pengembang piawai, Ciputra. Bisnis lainnya yang juga ikut digeluti Liem adalah otomotif, dimana ia kemudian mendirikan Indomobil, dan juga membeli sedikit saham Astra International.

Meski sudah memberikan banyak saham kosong kepada putra-putri presiden, pada akhir 1980-an Salim bekerja sama dengan Tutut di perusahaan jalan tol, Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). CMNP adalah salah satu kasus awal yang menambah ketidaksukaan publik terhadap keluarga Soeharto. Salim juga menjalin berbagai hubungan bisnis dengan anak tengah Soeharto, Bambang, antara lain di bidang perkebunan tebu dan produksi penyedap masakan. Sebagai upaya mewujudkan segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau, Salim menggandeng Bambang dalam beberapa proyek di Kepulauan Riau. Pada saat usaha Salim-Bambang mulai mewujud, hampir semua bisnis di Batam ada kaitannya dengan keterlibatan keluarga Habibie. Soeharto menunjuk Habibie sebagai ketua Badan Otorita Batam, setelah “raja minyak” Ibnu Sutowo gagal menjalankan instruksi presiden.

Tak cuma di dalam negeri, Salim juga terjun ke kancah internasional. Pada awal 1970-an, Liem tak pernah berniat untuk melakukan bisnis pada tataran regional, karena peluang di Indonesia melimpah ruah. Kendati demikian, mempunyai kedudukan di pusat-pusat keuangan Singapura dan Hongkong terbukti penting bagi pertumbuhan. Ekspansi Salim ke luar negeri terutama didorong oleh keinginan Anthony yang tak ingin bergantung pada sang patron. Rencana ini kemudian bisa terwujud ketika pada tahun 1981, ia bekerjasama dengan seorang bankir Filipina, Manny Palinganan, mendirikan perusahaan First Pacific. Dalam perjalanannya perusahaan itu mengalami pasang surut seperti halnya hubungan Manny dan Anthony. Di akhir 1980-an, First Pacific mendayung ke banyak tempat. Disamping First Pacific yang berbasis di Hongkong, Liem juga memiliki kendaraan lainnya yang berbasis di Singapura: KMP. Walaupun Singapura merupakan simpul jaringan penting (Liem punya rumah disana pada tahun 1970-an), negara itu baru menjadi tempat investasi Liem sejak tahun 1990. Beberapa faktor yang berperan dalam peningkatan aktivitas Salim di Singapura ialah karena kedekatannya dengan Batam, dimana investasi kelompok itu berkembang pesat.

Yang menarik dari semua bisnis Salim adalah industri mie. Kisah bagaimana Salim menjadi raksasa mie mencerminkan bagaimana kuatnya kelompok ini pada masa Orde Baru. Empat tahun setelah Bogasari mulai menggiling tepung, Salim tak berusaha membuat apapun dengan tepung yang diproduksinya. Menurut Anthony, Salim masuk bisnis mie karena kebetulan. Walaupun mie instan – merek Supermie dan Indomie — sering dihubungkan dengan Salim, namun asal mulanya justru tak ada sangkut pautnya dengan kelompok tersebut. Pada tahun 1968, sebuah perusahaan bernama Lima Satu Sankyu mempelopori produksi pertama mie instan buatan Indonesia, “Supermie”. Dua tahun kemudian produsen mie lainnya Djajadi Djaja mendirikan PT Sanmaru Food Manufacturing yang mulai menggunakan mereknya sendiri, “Indomie”. Sembilan tahun berikutnya giliran Salim mendirikan PT Sarami Asli Jaya, dengan merek “Sarimi”. Langkah Salim ikut memproduksi mie, didorong oleh kelangkaan beras di akhir dekade 1970-an. Dengan gerak ambisius, Salim lalu memesan 20 lini produksi dari sebuah pemasok Jepang. Setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mie instan per tahunnya.

Pada awal 1980-an, produksi beras di Indonesia mulai membaik, dan pemerintah tak mau lagi membeli mie dari kelompok ini. Dihadapkan pada kapasitas produksi yang berlebih dari jumlah mie yang dihasilkan, Salim menimbang-nimbang opsi lain. Akhirnya kelompok ini memutuskan untuk mendekati Djajadi, pemilik Indomie. Mengenai langkah ini Anthony menuturkan, “maka kami-pun mendatangi Indomie dan berkata, ‘kalian konsumen (tepung) saya, kami punya kelebihan lini … Bisakan kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian”. Namun Djajadi tidak menginginkan lini itu, yang berbeda operasi dengan lini Indomie miliknya. Jadilah Sarimi-nya Salim bertarung dengan Indomie milik Djajadi. Salim mengeluarkan biaya lebih dari USD 10 juta untuk memasarkan merek barunya dan memasang harga persis di bawah Indomie. Dalam setahun Sarimi memperoleh 40% pangsa pasar, karena lebih murah dari merek-merek lain. Djajadi merasakan keperkasaan Salim dan kemudian menyerah. Pada tahun 1984, mereka membentuk sebuah usaha patungan, PT Indofood Interna, dimana Djajadi memegang 57,5% saham dan Salim 42,5%. Dalam dua tahun perkawinan Indomie dan Sarimi, mereka sudah cukup kuat untuk mengakuisisi Supermie. Bagi Salim, perjalanan dari tidak punya peran di industri mie menjadi memiliki 42,5% saham sebuah perusahaan yang mengontrol tiga merek ternama adalah perjalanan yang cepat.

Dalam periode beberapa tahun menyusul pembentukan Indofood Interna, kontrol bergeser dari Djajadi ke tangan Salim. Hal ini dikarenakan pertikaian internal di kubu Djajadi, yang akhirnya sebagian dari mereka menjual sahamnya ke pihak Salim. Sosok kunci dalam pergeseran saham adalah saudara ipar Djajadi, Pandji Kusuma, yang juga menjadi pemegang saham di perusahaan yang dipimpin Salim, PT Panganjaya Intikusuma yang kemudian menjadi PT Indofood Sukses Makmur. Tahun 1992 Djajadi kembali mendapat pukulan telak. Salim memutuskan untuk berhenti menggunakan perusahaan distribusi Wicaksana miliknya, dan mengalihkan pekerjaan itu ke Indomarco Prima. Pada tahun 1998, tujuh bulan setelah Soeharto turun, Djajadi menggugat Indofood, Anthony, dan Geng Empat Serangkai. Dalam gugatannya, pengusaha asal Medan itu menyatakan bahwa 11 merek dagang makanan miliknya – tiga diantaranya yang paling populer pada saat itu – dipaksa dijual kepada tergugat seharga Rp 30.000. Pada Februari 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan yang mementahkan gugatan Djajadi. Dan putusan yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah Agung, setelah Djajadi mengajukan banding ke lembaga tersebut.

Rumah Liem Diserang Pada Kerusuhan Mei 1998

Pada Mei 1998, saat kerusuhan meledak, keluarga Salim merupakan salah satu pihak yang diincar. Laporan Tempo menyebutkan, rumah Liem di Gunung Sahari, Jakarta Pusat dibakar oleh sekelompok preman. Dalam Bab 17, diceritakan bagaimana Anthony menghadapi situasi mencekam itu. Ketika kerusuhan melanda Jakarta, semua anggota keluarga – kecuali Anthony – tidak berada di Indonesia. Liem berada di Los Angeles untuk operasi mata, ditemani istri dan anak perempuannya. Istri dan anak-anak Anthony berada di Singapura. Begitupula dengan Andree yang telah memindahkan keluarganya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan kekerasan. Malam hari tanggal 13 Mei, Anthony tidak langsung pulang ke rumah dari kantornya di Wisma Indocement. Dia mengikuti eksekutif kepercayaannya, Benny Santoso, untuk bermalam di Hotel Shangri-La, tak jauh dari kantornya. Tetapi di tengah malam, setelah merasa aman, Anthony memutuskan untuk pulang ke rumah. Pada fajar tanggal 14 Mei, situasi di kawasan Jakarta Utara semakin mencekam. Seorang satpam yang bekerja di rumah Salim, menyarankan Anthony untuk meninggalkan rumah segera. Dia lalu memilih untuk menuju kantornya.

Beberapa jam di Wisma Indocement, Anthony mendapat telepon dari rumah. Kabarnya di depan rumah ada beberapa truk yang menurunkan sekelompok pemuda bertampang garang, memaksa masuk ke dalam rumah. Melalui sambungan telepon, Anthony memutuskan untuk tak menghalangi gerombolan tersebut. Mereka akhirnya diizinkan masuk oleh seorang anggota keluarga, Sutoyo, kerabat istri Liem yang mengawasi kompleks itu bersama seorang penjaga. Kemudian secara sistematis, mereka mulai membakar mobil di garasi, lalu masuk rumah dan membakar furnitur. Mereka juga mencopot lukisan dari dinding dan mengobrak-abrik kamar-kamar. Tak ada yang terluka dalam serangan tersebut. Untuk membuktikan rumah kroni Soeharto sudah diserang, orang-orang itu menyeret ke jalan foto besar Liem dan istrinya, dan mereka mencabik-cabiknya dan berparade berkeliling memamerkan bingkai remuk. Gambar-gambar adegan itu beredar luas, termasuk yang ditampilkan oleh mingguan Tempo.

Setelah pengunduran diri Soeharto, gerakan reformasi memberikan tekanan bagi perubahan sistem politik. Bagi banyak orang Indonesia yang hidup di bawah rezim autokrat yang represif, harapan bagi reformasi semakin lantang diserukan. Sementara itu, di bidang bisnis para saingan Liem mengasah golok bersiap sedia menebas privilese yang diberikan kepadanya. Dihadapkan pada samudra perubahan, beberapa eksekutif Salim tidak yakin dengan masa depan kelompok bisnis mereka. Andree Halim merasa permusuhan yang diperlihatkan setelah Soeharto turun membuatnya ingin berhenti bekerja di Indonesia. Jadilah perjuangan menyelamatkan Salim menjadi beban Anthony sendirian. Dia kemudian mulai menyusun strategi yang mengharuskannya untuk menjalin hubungan baik dengan Habibie – presiden pasca-Soeharto — seraya menjaga agar serangan balik anti-Liem tak merebut semua aset miliknya. Dari “centre of crisis” di Singapura, Anthony memusatkan pikiran pada rencana kembali ke Jakarta dan memperjuangkan kelangsungan hidup bisnis Salim Group.

Pada tanggal 21 Agustus 1998, pemerintah mengumumkan rencana rekonstruksi perbankan nasional, yang meliputi merger empat bank besar milik negara. Rekonstruksi itu juga mengharuskan Liem untuk melepaskan bank andalannya, Bank Central Asia (BCA). Pada saat krisis 1998, BCA memang tergolong tidak sehat. Para pejabat pemerintah mengisyaratkan bahwa setidak-tidaknya separuh utang bank tersebut merupakan utang intra-kelompok. Angka ini jauh di atas level 20% dari yang diperbolehkan. Untuk menyelesaikan utang-utang tersebut, Liem diberi waktu hingga 21 September. Pada hari yang ditentukan, Salim menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan utang yang diambil perusahaan-perusahaannya. Setelah meneken komitmen pelunasan utang tersebut, Anthony mengintensifkan perundingan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk mencapai kesepakatan penyelesaian utang, Anthony menyampaikan semua daftar aset Salim kepada juru runding pemerintah. Pendekatannya kata Anthony, “apa saja yang ingin Anda ambil, sejauh masih milik keluarga Salim, bisa kita rundingkan“. Namun dia berusaha agar aset-aset yang sudah diagunkan ke bank tidak diperhitungkan. Strategi inilah yang kemudian menolongnya untuk tetap mengontrol Indofood, dimana sebagian besar sahamnya ketika itu diagunkan sebagai jaminan utang perusahaan.

Pada masa Orde Baru, imperium Salim dibangun di atas tiga pilar : perbankan (BCA), bahan bangunan (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 membahayakan ketiga pilar itu, dimana seperti yang telah diterangkan di atas, pilar perbankan ambruk tak lama setelah lengsernya sang penguasa. Pilar semen roboh agak perlahan. Namun Anthony mendapatkan jalan untuk menyelamatkan pilar ketiganya, makanan, dan itu memungkinkan Salim untuk tetap menjadi konglomerasi besar. Anthony berusaha bertahan pada Indofood melebihi yang lain-lainnya. Dia begitu mencintai lini bisnis ini. Ada alasan mendesak untuk mempertahankan genggaman atas Indofood, yakni arus kas. Ketika ekonomi menyusut 13% pada tahun 1998, arus kas Indofood tetap kuat. Itulah mengapa ketika mereka butuh bantuan untuk melunasi utang-utang grup, Anthony berusaha mati-matian menolak Nissin (produsen mie terbesar di Jepang) menjadi pengendali Indofood. Anthony memilih melepaskan sebagian sahamnya kepada First Pacific, dimana Salim juga menjadi salah satu pengendalinya.

Seperti halnya fase alamiah kehidupan manusia, tibalah masa dimana akhir senja kala sang taipan. Dalam tahun-tahun sesudah kejatuhan patronnya, Liem menghabiskan sebagian besar waktunya di Singapura. Dia menjalani kehidupan yang lebih banyak menyendiri, jauh dari hari-harinya sebagai salah seorang yang paling dikenali di dunia korporat Indonesia. Tidak seperti di Jakarta dimana dia terus-menerus dikejar orang, dia bisa bergerak kemana-mana di republik pulau itu nyaris tanpa gangguan. Selain rutin berkantor – meski tak ada lagi bisnis riil yang ia lakukan, Liem sesekali pergi ke Tiongkok sejauh kesehatannya mengizinkan. Dia sangat menikmati pergi ke kampung halamannya, Fuqing, yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Sebelum kesehatannya merosot, Liem kadang-kadang juga melakukan kunjungan singkat ke Jakarta, dan jika memungkinkan dia akan mampir ke Jalan Cendana untuk menemui teman lamanya, Soeharto. Liem mengenang kunjungannya ke Cendana pada akhir 2006, “Kami mengucapkan selamat berpisah di pintu, dan Pak Harto menangis”. Tak lama setelah itu sang patron wafat. Dan empat setengah tahun kemudian — yakni pada 10 Juni 2012 – Liem meninggal dunia di Rumah Sakit Raffles Singapura.

Anthony dan Liem

Meninggalnya Liem mengundang pernyataan belasungkawa yang jarang-jarang terlihat di Singapura untuk tokoh non-politik. Orang dari seluruh penjuru kawasan datang berduyun-duyun menghadiri sepekan perkabungannya. Permintaan karangan bunga begitu besar hingga terjadi kekurangan bunga segar di negara itu selama beberapa hari. Teman-teman dan rekanan bisnis membanjiri surat kabar Indonesia dan Singapura dengan pernyataan turut berbelasungkawa. Pada perkabungan, tenda-tenda dilengkapi AC, dan hotel Mandarin Orchard Singapore – dikendalikan oleh Lippo Group, menyediakan makanan bintang lima bagi para tamu. Para tamu dari Indonesia meliputi mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Titiek dan Mamiek Soeharto, serta Prabowo Subianto. Eulogi berbunga-bunga datang dari Tiongkok, terutama dari provinsi asal Liem : Fujian. Meski agak sunyi, penghargaan atas Liem juga muncul di beberapa bagian surat kabar Indonesia. Salah satunya ialah Jakarta Post yang memuat ulasan Jusuf Wanandi. Dalam rubrik pada surat kabar berpengaruh tersebut Jusuf mengatakan: “Dia selalu pro-Indonesia, walaupun tidak pernah melupakan asal usul Tiongkoknya. Dia tahu rotinya diolesi mentega di Indonesia dan dia menjadikan negeri ini tanah air barunya.”

Apapun penilaian Anda tentang sosok Liem, benar apa yang disampaikan Endy Bayuni, mantan pemimpin redaksi Jakarta Post: “Baik atau buruk, Liem adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa”.

 

Sumber gambar : http://www.tempo.co

Lihat pula :
Benarkah Jaman Soeharto Lebih Murah, Lebih Enak?

Komentar
  1. Irvan berkata:

    Pak bukunya beli dimana pak?

    Suka

Tinggalkan komentar